Jumat, 12 Januari 2024

Perempuan Expired: Sulitnya Baik-Baik Saja Saat Baik-Baik Saja

Perempuan Expired: Sulitnya Baik-Baik Saja Saat Baik-Baik Saja

perempuan expired

Sekitar dua tahun yang lalu, seorang teman berkata padaku, “Mbak, tadi waktu tarawih aku dibilang udah expired sama tetangga.” Aku syok dan speechless karena jika temanku ini dibilang expired di usianya 3 (tiga) tahun lebih muda dariku, aku apa dong? Saat aku membuat status tentang curhatan temanku ini, temanku lainnya berkomentar, “Kalau dia perempuan expired kita-kita ini apa dong?”


Menjadi perempuan yang belum menikah di usia lebih dari 25 tahun bukanlah hal yang mudah. Aku yang saat baru lulus kuliah berkeinginan menikah di usia lebih dari 30 tahun, di usia akhir 20-an aku menyadari kalau baik-baik saja sebagai single di usia 30 tahun itu sangat sulit. Bahkan ini terjadi saat aku sebenarnya baik-baik saja.


Aku juga mendapatkan curhatan yang sama dari teman-teman seusiaku yang belum menikah, mulai dari ditanya-tanya kapan nikah, diminta keluarga untuk segera menikah, gimana straggle-nya berkenalan dengan orang baru, sampai akhirnya satu per satu mereka menikah. Dari semua yang berbagi cerita ke aku, sumber tidak baik-baik sajanya mereka itu ya faktor eksternal, bukan dari dalam diri mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan mereka sebenarnya baik-baik saja dan alasan kegalauan mereka ya karena pertanyaan dari orang-orang sekitar.


Orang-orang sekitar entah itu tetangga, teman seumuran, hingga keluarga selalu memberikan pertanyaan tentang menikah, mulai dari kapan nikah, mana calonnya, kapan kirim undangan, dan sebagainya. Bahkan semakin bertambahnya usia, pertanyaan ‘kapan nikah’ diganti menjadi pernyataan yang judgemental misalnya kamu belum nikah karena terlalu pemilih, kamu sih nggak buka hati makanya belum nikah-nikah, gimana mau nikah kalau kamu di rumah terus, makanya buka hati biar nikah, dan sejenisnya. Padahal mereka jarang bertemu tapi sudah bisa menghakimi bahwa alasan belum nikah karena nggak mau buka hati atau karena terlalu pemilih.


Banyak yang menganggap bahwa perempuan yang belum menikah di usia lebih dari 25 tahun itu terlambat menikah. Mereka bisanya selalu memberikan alasan perempuan memiliki limit usia menikah, yang dinilai dari faktor reproduksi dimana perempuan memiliki batas kehamilan yang aman hingga usia 40 tahun. Aku pun tidak memungkiri hal tersebut, tapi bukan berarti perempuan harus cepat-cepat menikah dengan alasan ‘punya limit’ ini. Kenyataannya dengan menikah tidak membuat permasalahan hidup selesai. Setelah nikah pun, masih banyak pertanyaan-pertanyaan ‘kapan’ baik itu kapan hamil, kapan punya rumah sendiri, kapan beli mobil, kapan nambah anak, dan lainnya.


Jika kita saja tidak kuat menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah’ ini dan memutuskan menikah karena tidak tahan dengan tekanan dari orang-orang sekitar, bagaimana kelak akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan kapan lainnya. Apalagi tentang pertanyaan ‘kapan hamil’ yang menurut temanku levelnya ada di atas pertanyaan ‘kapan nikah’.


Kata temanku tersebut, seseorang bisa lebih santai menghadapi pertanyaan kapan nikah karena memang belum bertemu dengan orang yang tepat atau karena memilih untuk menikmati masa sendiri, ini beda dengan pertanyaan ‘kapan hamil’ yang kebanyakan memang ada di luar kendali. Jika pertanyaan ‘kapan nikah’ bisa mengarah ke judge bahwa seseorang dianggap terlalu pemilih atau tidak mau buka hati, pertanyaan ‘kapan hamil’ lebih kejam karena bisa mengarah ke kesehatan reproduksi. Perempuan akan dianggap memiliki kekurangan ketika ia tidak bisa hamil.


Jadi, bagaimana menghadapi pertanyaan ‘kapan hamil’ jika menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah’ saja nggak kuat? Dan, pertanyaan kapan hamil tidak akan diberikan sebelum seseorang menikah. Alasan inilah yang membuat aku memutuskan untuk menulis buku ini. Bukan hanya untuk orang yang membaca buku ini, tetapi juga untuk diriku sendiri yang kadang merasa muak dan nggak kuat menghadapi pertanyaan kapan nikah.


Sama seperti teman-teman yang curhat ke aku, aku kadang juga merasa ingin menikah agar tidak lagi ditanya-tanya tentang menikah dan menghadapi pernyataan  judgemental karena aku belum menikah.


Ada saat-saat dimana aku merasa kurang sebagai seorang perempuan dan seorang manusia karena belum menikah. Dimana aku berpikir apakah aku belum menikah karena aku kurang cantik atau kurang baik. Termasuk pertanyaan apakah aku bisa menikah di masa depan dan jika tidak menikah apakah aku akan baik-baik saja.


Maybe aku bisa menghadapi kesendirian dan rasa kesepian karena tidak menikah, tapi apakah aku bisa menghadapi pandangan orang-orang di sekitarku karena aku belum menikah? Satu-satunya kekhawatiranku tentang tidak menikah bukanlah aku akan hidup sendiri, tetapi aku takut menghadapi orang-orang di sekitarku dengan statusku yang tidak menikah.


Orang-orang banyak yang menganggap tidak menikah adalah keadaan yang patut dikasihani. Mau orang yang tidak menikah tersebut menunjukan bahwa ia bahagia hidup sendirian, orang-orang tetap mengatakan bahwa tidak menikah itu menyedihkan.


Ini aku temukan di kolom-kolom komentar di Instagram traveler yang happy menjadi hidup sebagai single. Ketika traveler tersebut membagikan cerita tentang hidupnya yang happy meski belum menikah, orang-orang memberikan komentar bahwa aslinya hidup Mbak-Mbak Traveler ini menyedihkan. Kurang lebih kayak gini:


“Itu mah aslinya menderita karena belum menikah.”


“Aku justru kasihan sama Mbaknya karena belum menikah. Nanti ketika udah tua siapa coba yang akan ngurusin.”


“Bulsyittt, itu mah aslinya nyesel karena belum menikah.”


“Perawan tua.”


Ketika membaca komentar-komentar ini, aku langsung berpikir bahwa perempuan yang belum menikah di usia matang benar-benar dianggap aib oleh masyarakat. Bahkan aku sudah beberapa kali tetangga yang menyebarkan nomorku tanpa izin dengan alasan agar aku cepat menikah. Mereka menganggap bahwa mengenalkan dua orang asing (tanpa melihat keduanya cocok atau tidak) adalah sebuah niat baik, siapa tahu jodoh. Padahal mengenalkan dua orang asing bisa jadi hanya membuat salah satu pihak kesal karena nggak nyambung dan hanya buang-buang waktu.


Karena alasan-alasan inilah aku memutuskan untuk menulis buku ini. Aku menulis buku ini bukan agar orang-orang yang membacanya jadi enggan menikah atau menjadi pendukung gerakan perempuan jomblo, tapi agar menjadi penguat perempuan-perempuan yang belum menikah di luar sana. Di tengah tekanan-tekanan cepat nikah yang begitu besar di luar sana, aku berharap perempuan tetap kuat dan tidak memutuskan menikah secara asal: termasuk asal memilih suami.


Ada banyak perempuan-perempuan yang harus mengalami kegagalan rumah tangga karena salah pilih suami dan alasan salah pilih suami banyak yang dikarenakan tekanan cepat menikah ini. Aku tidak mau ini kembali dialami oleh perempuan-perempuan di luar sana, termasuk kepada diirku sendiri. Aku berharap perempuan-perempuan berusia lebih dari 25 tahun bisa tetap bahagia meski belum menikah hingga mereka menemukan pasangan yang tepat dan bisa membangun keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.

Rabu, 06 Desember 2023

2023 dan Akhir Tahun yang Tidak Baik-Baik Saja

2023 dan Akhir Tahun yang Tidak Baik-Baik Saja

Detik demi detik berlalu dan tiba-tiba saja kita ada di ujung 2023.

Sebenarnya nggak tiba-tiba, hanya saja kita berhitung menit per menit, jam per jam, dan hari per hari. Lalu tiba-tiba saja waktu berlalu dengan cepat.

Menghadapi akhir tahun dengan tidak baik-baik saja rasanya lebih lelah dari biasanya. Sepertinya setiap akhir tahun aku sering merasa tidak baik-baik saja. Maybe orang-orang akan menanyakan 'what the problem?' padahal aku sendiri juga nggak tahu masalahnya apa.

Jadi untuk mengurangi sedikit rasa tidak baik-baik saja ini, aku mau mengulas apa saja yang udah aku lakuin di 2023:

1. Nonton Badminton secara Langsung for The First Time




Hal paling excited yang kulakukan di tahun 2023 adalah akhirnya aku nonton badminton secara langsung di Istora Senayan untuk pertama kalinya. Ini adalah salah satu backet list aku dari beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku bilang ke Neni, temanku kalau aku akan nonton badminton secara langsung suatu hari nanti.

Mimpi itu akhirnya terwujud dan saat itu aku sangat senang. Sesuatu yang dulu bagiku dan Neni kayak nggak terjangkau akhirnya bisa kucapai.

2. Traveling ke Jawa Timur dan Bali


Resolusiku di tahun sebelumnya adalah aku bisa menginjakan kaki di Jawa Timur dan Pulau Bali dan ini terwujud di tahun 2023. Rasanya jika mengingat hal ini aku merasa hidupku nggak buruk-buruk amat. Meski ada banyak drama sebelum aku akhirnya ke Jawa Timur, namun aku senang akhirnya aku memberanikan diri melawan rasa takut dan kemageranku.

Apalagi cerita dari perjalananku ini bisa menghasilkan uang dari lomba. Aku dapat 2 juta dari dua lomba yang berbeda, 1 juta dari lomba ASUS dan 1 juta dari lomba Piknik Kledo.

3. Jarang Sakit Punggung


Sejak mengenal olahraga yoga, aku merasa aku jadi jarang sakit punggung. Ya meski rencana dietku masih berkali-kali gagal tapi setidaknya ada efek baik yang dirasakan oleh tubuhku. Di tahun 2023 ini aku sudah lebih jarang mengeluh sakit jika dibandingkan tahun 2022. Mungkin ini tanda dari baiknya manajemen diri yang aku lakukan.

Tentu ini hal yang harus aku syukuri dan menunjukan bahwa tahun 2023 versiku tidak buruk-buruk amat.

4. Mulai dan Rutin Skincare


Tahun 2023 ini aku juga memulai untuk merawat diri. Nggak cuma skincare, aku juga merawat rambut dan lainnya. Meski untuk kulit selain wajah ya masih mager. Aku tiba-tiba tergerak untuk merawat kulit wajah setelah merasa insecure dengan keadaan wajahku yang makin hari makin mengenaskan.

Bayangkan jika aku tambah buruk semakin bertambahnya umur nanti. Sebenernya setelah pakai skincare kulitku nggak langsung baik tapi setidaknya dengan skincarean aku bisa mengurangi kemungkinan menyalahkan diri sendiri di masa depan nanti.

Setidaknya aku sudah melakukan yang terbaik untuk merawat diri. Ya, sesimpel itu.

Setelah menulis beberapa bagian yang harusnya aku syukuri di tahun 2023 ini, aku juga akan menulis beberapa hal yang membuatku merasa gagal di tahun 2023 ini.

1. Stop Pekerjaan Freelancer


Hal pertama yang sebenernya bisa dibilang berhasil dan bisa dibilang gagal yaitu aku stop pekerjaan freelance. Aku merasa tidak baik-baik saja dengan banyaknya pekerjaan. Maybe kalau klien lama aku masih bisa menghadapi tapi untuk hire klien baru itu sangat melelahkan dan ya aku memilih untuk tidak berusaha mencari peluang baru.

Karena memilih stop pekerjaan freelance, pendapatanku jadi berkurang banyak. Sebenernya masih ada masukan tapi saat ini aku lebih mengandalkan uang dari gaji pekerjaan utama.

2. Over Gadget


Percaya atau nggak, gadget yang kumiliki lumayan banyak dan aku mau menjualnya juga bingung karena setiap gadget punya fungsi yang berbeda-beda. Maybe yang paling nggak guna adalah beli TV satu bulan yang lalu. Aku beli buat orang tuaku karena TV rusak tapi orang tuaku lebih suka TV lama yang ternyata bisa diservis.

Selain TV, beli iPhone juga nggak sesuai ekspektasi. Aku beli karena HP lamaku udah ngadat dan buat bikin konten tapi sekali lagi nggak sesuai ekspektasi. Meski pun begitu, beli iPhone nggak pernah aku sesali sih.

3. Diet yang Selalu Gagal


Adalah aku yang bertahun-tahun mencoba diet dan selalu gagal. Capek banget. Tapi ya mau menyerah juga nggak bisa dan pola pikir diet kayaknya udah tersemat di otakku. Aku sampai merasa bersalah setiap kali aku makan dengan asal.

4. Bisa Nikah Nggak Ya?


Bohong banget kalau aku bilang aku nggak galauin nikah. Aku galauin bukan karena aku merasa nggak baik-baik aja sendirian gini tapi semakin ke sini aku merasa semakin nggak normal karena belum menikah dan nggak punya gebetan apalagi pacar.

Kenapa aku merasa masih baik-baik saja? Ya karena aku nggak punya perbedaan punya pasangan dan enggak. Selama ini hidupku dihabiskan dengan menjomblo. Ketika orang tua memintaku buat nikah, ya aku juga bingung karena I'm alone. Bahkan pegangan tangan sama cowok (selain salaman dan formalitas lainnya) aku juga belum pernah. Gandengan tangan sama cowok sambil deg-degan, mana pernah!

Makin ke sini aku juga makin sulit untuk tertarik sama orang lain. Berusaha mencari juga selalu berakhir dengan misuh-misuh. Mana katanya yang orang-orang bilang, "Makanya punya pacar biar hidup bahagia." Kenyataannya nggak semudah itu, lebih besar kemungkinan ketemu orang yang nyebelin dan berakhir misuh-misuh dibandingkan langsung ketemu yang klop.

5. Makin Pesimis akan Masa Depan


Kayaknya akhir-akhir ini hidupku dihabiskan dengan risau. Mungkin bagi orang lain apa sih yang dirisaukan oleh diriku ini. Tapi buatku aku juga nggak ngerti kenapa aku harus risau dan pesimis akan masa depan.

Salah satu hal yang bikin aku pesimis adalah tentang pernikahan. Orang-orang seumuranku di kampungku ini sudah punya anak 2 dan aku masih menjomblo dengan pengalaman cinta 0 besar. Hal yang bikin aku galau bukanlah aku ingin kayak mereka tapi aku merasa aku nggak pengen menjalani hidup hanya dengan menikah dan punya anak tapi dunia menginginkan semua orang melakukan hal itu.

Orang-orang juga mulai mengenalkan sana-sini dan cowok-cowok yang kutemui bikin misuh-misuh doang. Apalagi dengan keadaanku yang gampang banget ketrigger dan nggak kuat basa-basi dengan orang yang nggak sepemikiran.

Dengan kualitas cowok-cowok yang kutemui, gimana aku nggak pesimis coba? Lalu orang-orang di sekitarku dengan entengnya bilang, "yang penting tujuan nikah itu ibadah." Belum lagi aku melihat perubahan-perubahan dalam diri teman-temanku yang udah nikah.

Waktunya full buat suami dan anak. Ada juga yang galau berat karena belum hamil. Belum isu-isu banyaknya laki-laki gay yang berkamuflase dan menikahi orang lain. Aku aja yang menghadapi cowok tolol yang introvert aja nggak tahu pengen kumaki-maki itu cowok (tapi aku tahan dan aku blokir doang).

Bahkan aku merasa aku yang dulu bangga punya otak pinter, rasanya buat nyari jodoh pinter adalah sebuah kekurangan. Dan aku juga nggak bisa pura-pura goblok dan stay calm tiap ketemu sama cowok goblok yang buat searching aja nggak mau, cowok goblok yang udah dikasih tau dengan bahasa kurang sopan aja tetep komen spam, cowok goblok yang baru kenalan udah, "boleh nelpon nggak?"

Gimana aku nggak pesimis buat nikah coba? Oh iya, cowok yang nyebut nelpon/telepon dengan 'fhon' OMG, jaman sekarang masih ada yang tulisannya alay gitu? Lalu dikenalin ke aku? Lalu setelah aku dighosting yang ngenalin bilang aku nggak mau sama itu cowok?

Lalu bapakku bilang, "Itu aja bisa dapat jodoh tanpa pacara." Dan yang disamakan oleh bapakku adalah temenku yang sebelum nikah udah dikasih mobil, dicariin kerjaan tetap, dan setelah nikah dikasih rumah tanpa harus nabung tiap bulan. Ya Allah gimana aku nggak misuh-misuh coba?

Baiklah, ternyata hal yang paling bikin nggak baik-baik saja adalah tentang tuntutan menikah. Dengan rasa pesimisku dengan laki-laki Indonesia raya ini khususnya deket-deket rumah sini, aku curiga jodohku ternyata bule.

Selasa, 17 Oktober 2023

Menemukan Jati Diri Lewat Traveling, Bagaimana Caranya?

Menemukan Jati Diri Lewat Traveling, Bagaimana Caranya?

traveling


Traveling! Setiap kali mendengar kata itu, rasanya semangatku seperti naik berkali-kali lipat. Aku suka traveling. Menurutku tidak ada alasan untuk tidak menyukai traveling. Semakin banyak dan jauh kita melakukan traveling, semakin kita akan merasa kurang. Pasti ingin lebih jauh lagi.


Aku mengenal traveling pertama kali ketika duduk di bangku kuliah, tapi sejatinya keinginan menjadi traveler sudah ada sejak duduk di bangku SMA. Saat itu aku sering diajak lomba oleh pihak sekolah, entah itu lomba olimpiade atau cepat tepat. Meski hanya antar kabupaten atau di kota provinsi, tapi aku merasa excited dan ingin ikut lagi.


Saat aku memulai kuliah, aku memutuskan kuliah dengan tujuan agar aku bisa ikut lomba ini-itu. Aku merasakansaat gap year aku kehilangan kesempatan untuk mengikuti kegiatan ini-itu, jadi ketika kuliah aku bertekad harus memanfaatkan privilege tersebut dengan baik.


Alhamdulillah terwujud. Pun, setelah lulus dan kerja aku diberikan kesempatan kerja dari mana saja dan itu menjadi kesempatan terbaik untuk memulai traveling.


Traveling Adalah Cara Menemukan Jati Diri


Buatku traveling adalah cara untuk menemukan jati diri. Aku adalah orang yang menghabiskan masa remaja dengan merasa insecure. Saat itu aku merasa diriku tidak berarti dan aku membenci diri sendiri. Aku pernah melalui masa-masa ingin menghancurkan diri sendiri.


Saat aku mulai traveling sendirian di taun 2017, aku mulai menemukan jati diri yang selama ini aku cari. Aku menemukan diriku dengan cara bepergian sendiri. Aku merasa ketika aku melakukan perjalanan seorang diri, aku bisa ngobrol dengan diri sendiri dan mengenal diri sendiri lebih jauh.


Saat berada di tempat asing tanpa seorang pun yang mengenalku, aku bisa memunculkan sisi diriku yang tidak kutemukan ketika berada di dekat orang yang kukenal. Aku tidak perlu takut ketika berkenalan dengan orang yang tidak ada hubungan denganku. Toh, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, itu memberikan kesempatan bagi diriku untuk menjadi diri sendiri.


Mendapatkan Rasa Percaya Diri dengan Traveling


Sebagai orang yang menghabiskan banyak waktu dengan merasa insecure, aku mulai mendapatkan rasa percaya diri dengan traveling. Ketika aku traveling khususnya sendirian, aku tidak memiliki siapapun selain diri sendiri. Itu membuat diriku jadi mengandalkan diri sendiri.


Aku merasa diriku bisa melakukan banyak hal ketika melakukan traveling dan pasca traveling. Kebiasaan mengandalkan diri sendiri saat traveling membuatku mendapatkan rasa percaya diri yang tinggi. Aku aja bisa melakukannya sendiri saat traveling, di luar itu aku pasti juga bisa.


Mewujudkan Impian dengan Traveling


Ada beberapa impian yang bisa terwujud dengan traveling. Mungkin ini tidak berlaku untuk semua orang, tapi buat aku pribadi, aku memiliki beberapa impian yang hanya bisa diwujudkan dengan traveling. Misalnya, nonton Indonesia Master dimana diadakan di jakarta. Untuk mewujudkannya aku harus melakukan traveling dari Lampung menuju Jakarta.


Saat kita memberanikan diri membuka kesempatan dengan traveling, kita bisa menamukan banyak hal bisa diwujudkan dengan traveling. Semakin kita keluar dari rumah, semakin banyak kesempatan yang bisa didapatkan dan semakin banyak pengalaman yang bisa diraih.


Mengenal Dunia Lebih Jauh dengan Traveling




Traveling adalag cara untuk mengenal dunia lebih jauh. Aku yang dulu hanya di rumah saja jelas berbeda dengan diriku yang sekarang ini udah ke sana ke mari. Bertemu dan mengenal banyak orang membuatku lebih banyak mengetahui hal-hal di dunia ini.


Menurutku ada banyak kesempatan yang hilang ketika kita tidak berani bepergian sendirian dan itu sangat disayangkan. Karena di dunia ini banyak hal menarik yang mesti diketahui dan traveling adalah salah satu cara untuk meraihnya.


Kesimpulan


Ada satu quotes yang kudapatkan ketika mengobrolkan traveling dengan seorang teman, yaitu: semakin jauh kamu traveling, bukannya merasa puas, kamu justru ingin pergi lebi jauh lagi. Itu kurasakan sendiri. Tidak ada yang namanya puas ketika jalan-jalan, aku justru merasa kurang dan kurang ketika sudah memulai traveling.


Ketika memutuskan untuk membuat blog www.desimurnati.com, aku berniat untuk menjadikannya travel blog dan ya meski males-malesan, tapi aku akan memulainya mulai saat ini.


Mari berbagi hal-hal indah dan menakjubkan yang kutemui ketika traveling di blog ini.

Sabtu, 12 Agustus 2023

Aku Berhenti Meromantisasi, Bukan Berarti Aku Enggan Menikah

Aku Berhenti Meromantisasi, Bukan Berarti Aku Enggan Menikah

menikah


Sekitar satu tahun yang lalu, ada seorang teman yang bilang ke aku, kira-kira begini, “Des, kamu harus menikah. Menikah itu wajib.” Sebelumnya juga ada teman yang mengatakan hal serupa melalui pesan WhatsApp. Bahkan, dia khawatir aku tidak mau menikah. Aku yang masih punya impian menikah dengan seseorang yang kucintai ini langsung bertanya-tanya: kenapa mereka bisa mengira aku tidak mau menikah?


Ya, memang sejak beberapa tahun belakang ini aku tidak punya pacar. Ralat, bukan tidak punya pacar tapi aku nggak suka sama siapa pun. Aku menyebut diriku sebagai loveless yang dalam bahasa Indonesia berarti tuna asmara. Aku bahkan memutuskan untuk tidak meromantisasi segala sesuatu. Ada yang melamar misalnya, ya anggap biasa aja. Nggak usah didramatisir seolah itu sangat-sangat spesial.


Sebagai orang yang suka nonton drama Korea romantis dan baca novel-novel percintaan, selama ini hidupku penuh dengan angan-angan romantisme. Aku membayangkan aku akan menikah di usia 25 tahun dengan seorang laki-laki yang sangat mencintaiku, lalu melahirkan anak-anak yang lucu dan hidup bahagia bersama mereka. Tapi you can see, jangankan menikah di usia 25 tahun, sampai sekarang aku bahkan belum pernah pacaran.


Aku pernah bilang ke teman yang pengen banget nikah secepatnya, “Inginkan sesuatu, tapi jangan hal-hal yang berhubungan dengan manusia.” Pasangan adalah manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang memiliki kehidupan sendiri dengan pemikiran dan keinginan sendiri.


Maybe kita bisa menemukan satu manusia yang sama seperti pemikiran dan keinginan kita, tapi kemungkinannya sangat kecil. Buatku kenapa sih kita harus menginginkan hal yang kemungkinannya sangat kecil? Kenapa energinya nggak kita alihkan ke hal lainnya yang kemungkinan tercapainya lebih besar, misalnya mengejar impian-impian yang belum terwujud?


Menginginkan pernikahan padahal aku jomlo akan membuatku merasa jadi orang yang merana. Keinginan itu akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kenapa aku belum punya pacar? Kenapa tidak ada yang mencintaiku? Apakah aku seburuk dan sejelek itu? Apakah hidupku akan seperti ini terus?


Pertanyaan-pertanyaan ini akan mengubur hal-hal positif yang kumiliki. Aku akan melupakan apa yang saat ini kumiliki, seperti kebebasan untuk pergi kemana saja hingga pekerjaanku saat ini yang mungkin jadi impian banyak orang. Dengan membebani diri sendiri untuk segera menikah (padahal nggak punya calon) akan membuatku fokus dengan hal-hal yang tidak kumiliki hingga aku melupakan apa yang ada saat ini dan bisa aku lakukan sekarang ini.


Aku mau menikah. Aku sangat mau menikah. Tapi bukan berarti aku harus mengejarnya sekarang. Toh, sekalipun aku mengejar untuk menikah sekarang, yakin aku bisa menemukan secepat yang aku mau? Oke, anggap saja aku bisa mendapatkan pasangan hidup sesuai tenggat waktu, yakin itu bisa bertahan untuk selamanya?


Aku selalu bilang menikah itu bukan prosesi menggugurkan kewajiban. Ketika kamu sudah menikah, horeee, kamu sukses! Sayangnya tidak begitu. Menikah adalah prosesi yang akan mempengaruhi kehidupanmu selanjutnya. Hidupmu akan jadi bahagia atau sengsara tergantung siapa yang kamu pilih untuk jadi partner pernikahanmu.


Ada yang menganggap menemukan partner hidup itu mudah, sampai-sampai mereka melabeliku ‘terlalu pemilih’. Entah sudah berapa kali orang bilang ke aku, “Ayo Desi buka hati, biar bisa menikah.” Padahal, jangankan membukan hati, untuk membuka pintu aja kita perlu lihat siapa yang datang, kan? Kita pasti akan mempertimbangkan sopan-santun, seperti mengetuk pintu atau mengucapkan salam. Misalnya yang datang orang gila, apa iya kamu mau buka pintu?


Coba bandingkan yang datang adalah sahabat tercinta kamu? Nggak perlu diketuk pintunya, kamu pasti dengan senang hati membuka pintu dan menyambutnya. Begitu juga dengan buka hati, nggak perlu dipaksakan, kalau kita suka pasti dengan sendirinya hati akan terbuka.


Orang-orang memintaku untuk tidak terlalu memilih, padahal kita semua buat beli baju aja milih. Kita akan milih baju yang paling pas untuk kita, baik itu dari ukuran, warna, modelnya hingga bahan kainnya. Masa’ iya kita milih pasangan hidup mau asal-asalan? Pasangan hidup lho nggak cuma buat setahun-dua tahun tapi selamanya, ya kali nggak milih!


Aku suka heran dengan orang-orang yang memintaku segera menikah dan nggak milih-milih pasangan, kok bisa gitu sih? Maksudnya emang dulu mereka waktu nikah nggak milih-milih? Pernah sekali aku mendapatkan omongan semacam itu, lalu aku bilang, “Aku sih nggak mau nikah sama orang yang nggak bisa diajak ngobrol. Menikah kan kuncinya komunikasi.” Lalu, mbak itu bilang, “Bener sih, aku sama suamiku itu kalo ngobrol ujungnya berantem. Nggak asyik, jadinya mending diem-diem aja daripada berantem.”


Meski kelihatannya aku kayak manusia yang nggak tertarik menikah, aku tetap mau menikah kok. Menurutku di dunia ini semua orang mau menikah. Kalau ada orang yang tidak mau menikah, pasti ia punya alasan di baliknya. Siapa sih yang nggak mau sayang-sayangan sama pasangan? Siapa yang nggak mau punya teman bicara seumur hidup? Siapa yang nggak mau dibersamai dalam suka dan duka? Dibandingkan harus menghabiskan hidup sendirian, aku lebih memilih untuk menikah.


Tapi kenyataannya menikah tidak semudah dan seindah itu. Di sekitar kita banyak peristiwa mengerikan yang terjadi dalam hubungan pernikahan, mulai dari perselingkuhan hingga pembunuhan, semua bisa terjadi dalam pernikahan. Jadi, bukan pernikahan yang paling penting, tapi dengan siapa kita akan menikah. Memilih pasangan hidup sangat penting, kamu tidak hanya memilih suami atau istri untukmu tapi juga memilih ayah atau ibu untuk anak-anakmu, menantu untuk orang tuamu, hingga kakek atau nenek untuk cucu-cucumu nanti.


Aku memang memutuskan untuk berhenti meromantisasi kehidupan. Tujuannya agar aku bisa hidup dengan realistis. Ya, lagian nggak semua orang yang kita anggap romantis punya realita yang serupa kok. Menurutku romantis atau enggak itu tergantung mainset kita. Cewek-cewek usia awal 20-an menganggap adegan pernikahan atau lamaran adalah adegan yang sangat romantis sampai melting dan iri. Tapi buat cewek-cewek usia 28 tahun sepertiku, adegan pernikahan adalah hal yang biasa yang dialami oleh banyak orang.


Jadi, kenapa kita harus merasa spesial jika orang lain juga mengalaminya? Jika kamu (dan juga aku) belum menikah sekarang ini, jangan risau! Nggak semua orang genre hidupnya itu romance. Ada juga yang punya genre slice of life, kayak aku ini. Ya, genre hidup yang isinya lebih banyak sepetnya daripada manisnya, hehe.

Minggu, 11 Juni 2023

Perempuan dalam Perspektif Sinematik Korea, Jepang, dan Indonesia

Perempuan dalam Perspektif Sinematik Korea, Jepang, dan Indonesia

perempuan


Beberapa bulan yang lalu saya baru saja selesai nonton drama Jepang dan saya bergumam, “kok gini banget ya penggambaran perempuan di drama Jepang?” Sebagai penggila drama Korea yang telah menonton lebih dari 200 judul drama Korea, saya banyak mengamati bagaimana perkembangan drama Korea dari tahun ke tahun.


Tidak hanya drama Korea, ada kalanya saya menonton karya sinematik dari berbagai negara dan setelah menonton beberapa judul, saya menemukan satu formula yang menjadi sudut pandang terhadap sesuatu, kali ini saya mengamatinya dari bagaimana mereka memandang perempuan.


Dalam drama Korea, misalnya, setiap tahunnya drama Korea memiliki kesamaan untuk setiap periodenya. Jadi, jika ada yang bilang drama Korea itu selalu memiliki cerita yang unik, saya kira nggak semuanya. Jika kita benar-benar mengamatinya, drama Korea juga mengikuti apa yang sedang trend atau hype.


Saya ingat banget di tahun 2012 drama Korea banyak diisi oleh cerita-cerita time travel, sebut saja drama Rooftop Prince, Faith, dan Queen In Hyun Man. Di tahun 2015, ada drama Kill Me Heal Me yang mengangkat cerita tentang kepribadian ganda, dan di tahun yang sama juga ada drama dengan tema serupa berjudl Hyde Jekyll, Me.


Jika kamu menonton drama The World of The Married, setelah drama ini melejit ada banyak judul drama Korea yang mengangkat tema perselingkuhan atau makjang. Tidak hanya dalam hal tema yang memiliki formula yang mirip-mirip setiap tahunnya, jika kamu memperhatikan, drama Korea juga telah mengalami pergeseran dalam hal karakter tokoh utama, khususnya tokoh utama perempuan.


Sekitar tahun 2010-an, drama Korea banyak diisi oleh karkater-karakter candy girl yang kehidupannya bak Cinderella. Sebut saja drama Boy Over Flower, Secret Garden, The Heirs, You are Beautifull, City Hunter, Rooftop Prince, Princess Hours, Coffee Prince, hampir semuanya karakter utama perempuan di drama itu adalah gadis miskin yang bertemu dengan pangeran (pewaris atau chabol, biasanya) kaya raya. Bahkan kekayaannya nggak tanggung-tanggung, minimal punya mall terbesar di Korea Selatan.


Ini tentunya berbeda dengan karakter utama perempuan di drama Korea yang tayang 2018 hingga sekarang. Sebut saja drama The World of The Married, tokoh utamanya yakni Ji Sun-woo adalah seorang dokter sukses yang memiliki karakter kuat dan tidak diam saja ketika dikhianati oleh suaminya. Kemudian ada Hotel del Luna dengan karkater Jang Man-wol yang hingga kini masih melekat di benak saya sebagai perempuan kuat dan (lumayan) bringas.

Di tahun 2023 ini, ada drama The Glory yang menurut saya adalah sebuah drama sempurna tentang perempuan. Moon Dong-eun diceritakan sebagai korban bully saat SMA dan ia berjuang sangat keras untuk membalaskan dendam di masa depan. Dia membangun karir hingga ada di posisi yang sama dengan para pelaku bullying tersebut. Ia menjadi seorang guru dan memiliki banyak uang.


Saya menyebut The Glory sebagai drama pembalasan dendam tanpa menjadi jalang. Moon Dong-eun tidak pernah memberikan tubuhnya, bahkan ketika ia bersama dengan Joo Yeo-jeong, ia memikat laki-laki itu dengan tekad kuatnya, bukan dengan tubuhnya.


Pergeseran karakter perempuan dalam drama Korea pastinya sangat dipengaruhi oleh gerakan feminisme di Negeri Gingseng tersebut. Seperti yang diketahui, Korea Selatan adalah negara anti-feminisme. Kaum laki-laki di Korea Selatan merasa didiskriminasi karena hanya kaum laki-laki yang melakukan wajib militer. (sumber: Young, Angry, Misogynistic, and Male: Inside South Korea’s Incel Election (vice.com))


Wajib militer membuat kaum laki-laki kehilangan waktu-waktu produktifnya yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun karir. Di sisi lain, perempuan yang tidak mengikuti wajib militer bisa terus mengejar karir hingga melampaui laki-laki. Karena alasan inilah muncul gerakan anti-feminisme di Korea Selatan.


Perjuangan feminis di Korea Selatan sangatlah sulit. Jika kamu tahu novel Kim Ji-young: Born 1982 yang versi filmnya dibintangi oleh Gong Yoo, novel ini sempat menjadi kontroversi karena tema feminisme yang diangkat. (Sumber: Kontroversi Kim Ji-young, Born 1982 & Kisah yang Harus Diceritakan (tirto.id)). Lewat drama-drama inilah, sineas Korea Selatan mengkampanyekan kesetaraan di Korea Selatan dan seluruh dunia.


Terlebih dalam industri drama Korea banyak diisi oleh penulis-penulis perempuan. Kim Eun-sook yang menulis drama The Glory, Hong Sister yang menulis Hotel del Luna, hingga Kim Sun-ok yang menulis drama Penthouse.


Lalu bagaimana dengan negara lain, Jepang misalnya sebagai tetangga dari Korea Selatan? Dibandingkan menemukan hal menyenangkan atau sesuatu yang good untuk ditonton, saya justru menemukan formula yang kurang menyenangkan dari karya sinematik di negara ini. Jelas ini tidak berlaku untuk semua drama atau film, tapi dari beberapa yang judul yang sudah saya tonton, saya sampai bergumam, “kok gini ya.”


Ada empat judul yang saya tonton dan semuanya saya tonton di Netflix. Judul-judul dorama dan film itu antara lain My Husband Won’t Fit, Love & Fortune, Call Me Chiharo, dan Fishbowl Wives. Ada dua judul yang saya tonton hingga selesai yaitu My Husband Won’t Fit dan Love & Fortune, sedangkan judul-judul lainnya saya nggak sanggup menyelesaikannya, wkwk.


Dari kedua dorama ini (juga dua judul lainnya), saya menemukan kesamaan karakter perempuannya yaitu seorang perempuan manis, imut, dan bermuka kalem tapi jalang. Dalam My Husband Won’t Fit, misalnya, tokoh utama perempuannya adalah seorang mahasiswa kalem yang nggak begitu cantik (menurut saya) tapi semudah itu melakukan have sex. Bahkan setelah menikah pun, dia akhirnya selingkuh dengan laki-laki lain karena nggak bisa match dengan suaminya.


Love & Fortune apalagi, saat pertama kali nonton saya mengira perempuan ini sangat kalem, tapi akhirnya selingkuh dengan laki-laki yang usianya jauh di bawah dia. Bahkan bisa dibilang anak di bawah umur. Dua drama lainnya yang tidak berhasil saya selesaikan juga memiliki tokoh utama perempuan yang serupa: imut, kalem, baik hati, tapi ya begitu.


Jujur, saya sampai putus asa mau nonton dorama lagi. Sepertinya mending nonton anime.


Sebagai orang yang nggak terlalu mengikuti drama China dan drama Thailand, saya tidak bisa banyak berkomentar. Tapi saat sedang diskusi dengan teman, dia juga mengatakan hal yang sama: drama China dan Thailand memiliki formula yang sama. Drama China hingga saat ini banyak diisi oleh cerita-cerita Cinderella dimana tokoh utama perempuan adalah sosok lemah yang bertemu dengan pangeran kaya raya.


Teman lainnya yang kuajak diskusi mengatakan, tema seperti itu sesuai untuk negara komunis seperti China. Untuk bisa tayang saja butuh proses panjang dan banyak drama yang akhirnya gagal tayang.


Untuk drama Thailand, teman saya menjelaskan drama Thailand banyak yang meromantisasi kekerasan seksual. Jadi, banyak tokoh perempuan dalam drama Thailand yang diperkosa dan akhirnya jatuh cinta dengan orang yang memperkosanya. Saya sempat menonton drama Thailand untuk kebutuhan artikel ini tapi belum menemukan seperti yang disebutkan teman saya tersebut, jadi untuk ini saya tidak bisa banyak menjelaskannya.


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tidak dipungkiri bahwa saat ini Indonesia telah berkembang dalam hal karya sinematik, terlebih sejak adanya platform streaming. Kita bisa menemukan drama dan film berkualitas di platform-platform tersebut. Salah satu series yang cukup menyita perhatian saya adalah Katarsis yang dibintangi oleh Pevita Pearce. Meski saya baru menonton dua episode series ini tetapi saya bisa melihat karakter Tara bukan perempuan biasa.


Meski telah banyak perkembangan, namun hingga kini saya belum menemukan film atau series yang membuat saya menjatuhkan hati seperti saya jatuh hati pada drama The Glory dan Love to Hate You. Memang ada beberapa judul film yang mengangkat isu kesehatan mental, kekerasan seksual, dan isu perempuan lainnya tapi karakternya belum bisa melekat di benak saya.


Apalagi jika melihat sinetron dan FTV di Indonesia, rasanya kayak putus asa. Jangankan mengakat isu kesetaraan gender dengan karakter yang kuat, bisa nemu cerita yang logis aja udah syukur. Terakhir, saya menemukan cerita FTV Indosiar yang super nyeleneh: bisnis semangka goreng. Sinetron juga masih diisi dengan karakter perempuan lemah lembut, agamis, dan pasrah.


Begitu juga dengan film, di balik karya sinematik Indonesia yang katanya sudah berkembang, masih ada film yang meromantisasi pernikahan di bawah umur hingga pemaksaan pernikahan. Jadi, kalau ada yang nanya kenapa kami (atau saya) lebih memilih nonton drama Korea dibandingkan sinetron Indonesia, alasannya sangat jelas: males misuh-misuh.


Kamis, 01 Juni 2023

Investasi Bodong ala Lee Mi-joo di Drama The Good Bad Mother yang Seharusnya Tidak Dilakukan di Dunia Nyata

Investasi Bodong ala Lee Mi-joo di Drama The Good Bad Mother yang Seharusnya Tidak Dilakukan di Dunia Nyata

the bad good mother

Drama Korea The Bad Good Mother semalam memasuki episode ke-12. Aku adalah salah satu penonton yang menantikan drama ini setiap minggunya. Selain karena ada kesayangan aku – Lee Do-hyun – yang menjadi pemeran utama, aku juga menyukai jalan cerita dari drama ini.


The Bad Good Mother menceritakan tentang kehidupan Choi Kang-ho yang harus menjalani didikan keras dari ibunya demi bisa mengajar mimpi jadi jaksa dan membalaskan dendam kematian ayahnya. Choi Kang-ho yang telah menjadi jaksa tiba-tiba mengalami kecelakaan dan mentalnya kembali ke usia 7 tahun.


Sebelum Kang-ho menjadi jaksa, ia memiliki pacar bernama Lee Mi-joo. FYI, Lee Mi-joo adalah anak tetangga di kampung Kang-ho yang lahir di hari yang sama dengannya. Choi Kang-ho dan Lee Mi-joo sudah saling menyukai sejak masih SMA namun terhalang restu ibu Kang-ho yang sangat ambius anaknya menjadi jaksa.


bad mother


Mereka bertemu lagi setelah sama-sama pindah ke Seoul dan tinggal bersama. Nah, di masa depan ada anak kembar Lee Mi-joo yang tinggal di kampung bersama ibu Lee Mi-joo. Sejak menonton scene Kang-ho dan Mi-joo yang tinggal bersama, muncul satu dugaan: mungkinkah si kembar ini anaknya Choi Kang-ho?


Setelah memperhatikan setiap ekspresi Lee Mi-joo bertemu dengan Kang-ho atau melihat anak-anaknya berinteraksi dengan Kang-ho, aku jadi sangat yakin bahwa Lee Seo-jin dan Lee Ye-jin itu anaknya Kang-ho. Ya, maksudnya mereka kan tinggal bareng dan sayang-sayangan, sangat wajar jika si kembar itu anak mereka berdua.


Apalagi jika dihitung dari jarak usia Kang-ho dan Mi-joo dengan umur si kembar: mereka berusia 28 tahun saat masih bersama, anak mereka saat Kang-ho hilang ingatan berusia 7 tahun dan di saat itu usia Kang-ho 35 tahun.


35 tahun - 28 tahun = 7 tahun.


OMG, bisa-bisanya Lee Mi-joo punya anak sama Kang-ho! Ada satu scene saat keduanya baru bertemu di rumah makan, Lee Mi-joo bilang, “Aku mau menginvestasikan diriku! Aku emang belum punya uang, tapi aku bisa menginvestasikan diriku, kamu hanya perlu belajar dan aku akan mendukung.”


the bad good mother


Dan, investasi yang dilakukan Lee Mi-joo adalah investasi bodong. Jangankan dinikahi, dia justru dicampakan tepat setelah Kang-ho dilantik menjadi jaksa. Terlepas dari alasan Kang-ho meninggalkan Mi-joo tapi buat perempuan itu adalah sesuatu yang sangat menyedihkan. Lebih menyedihkannya lagi Lee Mi-joo sedang hamil saat itu, bayi kembar pula!


Sudah terjatuh tertimpa tangga pula!


Sebagai seorang perempuan, aku bisa merasakan kepedihan hidup Lee Mi-joo. Ia saat itu hanya mencintai Kang-ho tapi hidupnya benar-benar berantakan karena laki-laki itu. Ia tidak bisa kerja karena sedang hamil dan saking sulitnya kehidupannya saat itu, ia sampai mengirimkan anak-anaknya ke rumah ibunya. Sad.


Jadi, cerita seperti ini sebaiknya hanya ada di drama. Jangan pernah mengalami cerita seperti ini di kehidupan nyata. Sebagai penonton, kita pasti merasa cerita Lee Mi-joo dan Choi Kang-ho itu menarik, tapi jika itu ada di dunia nyata pasti tidak akan menarik. Bayangkan saja Lee Mi-joo itu teman dekatmu. Sudah pasti kamu akan misuh-misuh karena kebucinan Lee Mi-joo.


Di episode 12, diceritkan Choi Kang-ho masih mencintai Lee Mi-joo. Ia bahkan meninggalkan Lee Mi-joo demi melindungi perempuan itu. Tapi ada berapa banyak sih laki-laki kayak Choi Kang-ho ini? Maksudnya adalah laki-laki yang benar-benar mencintai kita dan tidak benar-benar meninggalkan kita.


Bukankah lebih banyak laki-laki brengsek yang lari dari tanggung jawab dan tidak kembali lagi? Laki-laki seperti ini akhirnya benar-benar membuat mantan pacarnya jadi korban investasi bodong. Tidak hanya kehilangan uang, ia juga kehilangan waktu dan beban emosi yang ditanggungnya tidak main-main. Apalagi jika sampai memiliki anak bersama, tidak hanya perempuan yang menjadi korban tetapi juga anak yang lahir dari hubungan tersebut.


the bad good mother

Ada banyak hal yang bisa dilakukan selain mengorbankan diri untuk laki-laki yang kita cintai. Investasi yang aman-aman ajalah. Biarkan cerita drakor cukup ada di drakor, sedangkan hidup kita harus dibuat sangat lurus dan jika tidak menarik juga tidak apa-apa.


Aku jadi ingat ucapan tokoh utama di film Mother, saat menyerahkan anaknya dia bilang, “berikan kehidupan yang stabil dan membosankan untuknya.” Ya, buat orang yang pernah mengalami drama kehidupan, kehidupan yang stabil dan membosankan adalah sebuah impian.


Jadi, jangan pernah menjadi Lee Mi-joo di kehidupan nyata. Buatku Lee Mi-joo adalah perempuan yang sangat keren tapi kita bisa memilih menjadi keren tanpa perlu menjadi menyedihkan.


Sabtu, 28 Januari 2023

Apakah Kita Semua Harus Menikah?

Apakah Kita Semua Harus Menikah?

Menikah


Di usia yang telah menginjak usia 28 tahun, datang ke pernikahan teman adalah sesuatu yang telah kulakukan berkali-kali. Bahkan bisa dibilang sebagian besar teman-teman seumuranku telah menikah. Aku yang tinggal di desa sebentar lagi akan menjadi satu-satunya gadis dengan umur lebih dari 27 tahun yang belum menikah.


Apakah aku risau? Kalau aku bilang enggak, jelas itu bohong. Aku risau bukan karena aku ingin menikah, justru aku risau karena aku belum siap menikah. Mungkin ini terdengar aneh dan tidak lazim, tapi aku belum rela memberikan hidupku kepada seseorang— karena memang saat ini aku belum menemukan seseorang yang bisa membuatku rela memberikan hidupku, ya.


Di umur segini, aku berkali-kali bertanya ke diri sendiri, apakah manusia memang harus menikah? Bagaimana jika aku tidak bisa menikah, apakah aku akan menjadi manusia aneh? Tapi jika dibandingkan harus menikah secara asal dengan seseorang yang tidak aku yakin bisa memberikan hidupku, aku lebih baik menunda pernikahan.


Alasan Aku Belum Siap Menikah


Alasan utama aku belum siap menikah adalah aku belum menemukan seseorang yang membuatku bisa memberikan hidupku padanya. Ketika aku ditanya kapan nikah sama orang lain, aku selalu bertanya balik ke mereka, “apa coba hal yang paling dibutuhkan buat nikah?” Dan kebanyakan mereka menjawab duit yang langsung aku timpal dengan: no, bukan duit. Tapi pasangannya.


Mau sesiap apapun aku buat menikah dan udah punya duit sebanyak apapun, kalau aku belum menemukan calon atau pasangannya ya mau nikah sama siapa, kan? Perjuangan buat bisa nikah itu nggak sama kayak perjuangan buat bisa lulus. Saat kamu berjuang buat bisa lulus kuliah (wisuda), ketika kamu berhasil lulus ya kamu tinggal melanjutkan ke kehidupan kamu selanjutnya, dengan kerja misalnya.


Beda ketika menikah. Ketika kamu berhasil menikah, tidak ada jaminan hidupmu akan happy ever after kayak dalam film dongeng. Pernikahan adalah sesuatu yang melibatkan dua manusia yang berbeda, dua keluarga yang berbeda, bahkan dua kebudayaan yang bisa jadi berbeda. Dengan siapa kamu memutuskan menikah akan memengaruhi kehidupanmu selanjutnya— apakah akan menjadi lebih bahagia atau sebaliknya yaitu lebih menderita.


Jadi, jika ditanya alasan utama aku belum menikah adalah aku belum menemukan seseorang yang bisa membuatku percaya kalau aku bisa berbagi kehidupan dengannya. Sejauh ini aku belum tahu seperti apa seseorang yang benar-benar aku butuhkan itu— maybe aku akan mulai memikirkannya dan mulai serius mendoakannya,


Alasan-alasan lainnya misalnya belum siap secara mental, kurasa ketika telah bertemu dengan orang yang aku YES dengannya, dia akan membuatku siap. You know-lah, saat telah menemukan the one secara otomatis kita akan siap. Kecuali emang bagi mereka yang belum selesai sama diri sendiri.


Apakah Aku Sudah Selesai dengan Diri Sendiri?


Aku selalu bilang ke orang yang mengobrol denganku, “pastikan sebelum menikah kamu harus sudah selesai dengan diri sendiri.” Masih banyak yang belum mengerti definisi selesai sama diri sendiri, tapi buatku selesai sama diri sendiri adalah ketika kita berhasil berdamai dengan diri sendiri.


Misalnya, di masa lalu kamu merasa sangat insecure dengan berat badan. Nah, saat ini kamu sudah bisa berdamai dengan masalah berat badan ini— baik karena kamu sudah bisa menurunkan berat badan atau telah menerima keadaan badanmu dengan tetap terus berusaha. Selain contoh itu, selesai dengan diri sendiri juga bisa dari segi karier. Misalnya adalah kamu punya impian ingin menjadi penulis dan di masa sekarang kamu sudah menjadi penulis atau menerima dirimu baik yang sudah jadi penulis atau belum jadi penulis.


Kuakui, saat ini aku sudah ada di posisi ini: aku sudah selesai sama diri sendiri. Aku tahu jika menganggap selesai dengan diri sendiri adalah ada di semua bagian, aku nggak akan bisa selesai sama diri sendiri. Misalnya, aku saat ini belum punya tabungan 50 juta. Jika takaran selesai sama diri sendiri adalah nominal tabungan ya jelas aku belum selesai.


Tapi standar selesai sama diri sendiriku bukan itu, tapi bagaimana saat ini aku bisa menerima diri sendiri dan aku sudah ada di tahap itu. Aku merasa puas dan bangga sama diri sendiri. Ya, meski ada saat-saat dimana aku merasa rapuh dan ingin mati saja, tapi itu adalah perasaan wajar. Tergantung bagaimana aku menyikapi perasaan itu.


Jadi, ketika ada yang nanya apakah aku sudah selesai dengan diri sendiri, aku selalu jawab sudah. Ini beneran ada yang nanya dan aku memang merasa sudah selesai sama diri sendiri. Tapi mengapa aku belum memutuskan menikah? Ya, kembali lagi aku belum menemukan seseorang yang kupercaya dan membuatku oke YES.


Daripada aku galau dan risau memikirkan itu— termasuk bagaimana nanti aku akan ketemu pasanganku, lebih baik aku menggunakan energi untuk upgrade diri dengan cara mengembangkan keterampilan dan juga melakukan hal-hal yang bisa mendukung masa depanku.


Apakah Kita Semua Harus Menikah?


Aku beberapa kali mendapatkan nasihat, “kamu harus menikah, Des! Nikah itu wajib,” bahkan ada yang dengan terang-terangan khawatir aku tidak mau menikah. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang peduli denganku tapi ya anggapan mereka jelas salah. Meski aku sering bilang hukum nikah itu mubah dan bisa berganti tergantung keadaan, tapi aku mau menikah.


Semua manusia normal pasti mau menikah— jika sampai dia memutuskan untuk tidak menikah, tapi ada alasan kuat yang mendasarinya. Saat kamu bertemu dengan seseorang yang bisa mencintaimu dengan baik dan kamu juga cinta sama dia, pasti kamu ingin menikah dengannya. Pernikahan adalah ikatan yang bisa melindungi dua manusia dan kalau kata guru agamaku di SMA, pernikahan adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan dengan hewan.


Tapi apakah kita semua harus menikah? Kurasa jika ditanya seperti ini, aku akan menjawab tidak. Kita semua tidak harus menikah hanya karena orang-orang di sekitar kita menikah. Seperti yang aku bilang sebelumnya, menikah adalah hubungan yang melibatkan dua manusia dengan dua pikiran berbeda, dua misi berbeda, dari dua keluarga berbeda, dan bahkan ada yang dari budaya yang berbeda.


Dasar ketika kamu memutuskan untuk menikah bukan karena semua orang sudah menikah, tapi karena kamu sudah menemukan someone yang membuatmu yakin kamu bisa berbagi hidup sama dia. Jika belum, jangan paksakan untuk menikah. Lalu bagaimana kita tahu dia seseorang yang tepat atau nggak? 


Ya, aku juga nggak tahu karena aku belum ada di fase ini. Tapi menurut hasil sharing dengan teman-teman, ketika menemukan someone ini segalanya akan dipermudah dan entah dari mana datangnya, kamu yakin dia adalah orang yang tepat.


Persiapanku Sebelum Menikah


Menikah

Dibandingkan harus menggalau karena belum menemukan jodoh, sampai bilang: ya ampun jodohku kesasar ke mana sih, ini loh aku nunggu dari lama, atau narasi-narasi jomlo ngenes, lebih baik aku fokus mempersiapkan diri sebelum menikah.


Tahun lalu, aku bilang ke diri sendiri, kira-kira seperti ini, “aku nggak tahu di masa depan akan menikah atau enggak, tapi aku nggak mau aku nggak menikah karena aku yang nggak ada persiapan. Aku nggak mau menyesal di masa depan karena tidak mempersiapkan bekal menikah. Aku mau mempersiapkan pelan-pelan, jadi ketika bertemu someone itu, aku sudah siap. Jika nggak bertemu aku nggak akan menyalahkan diri sendiri karena aku udah usaha.”


Dari sinilah akhirnya aku memutuskan untuk mulai mempersiapkan dana pernikahan. Nikah atau belum menikah, memiliki dana pernikahan itu jauh lebih baik daripada nggak punya. Jika memang belum rezeki buat menikah, aku bisa menggunakannya buat hal lain, jalan-jalan ke luar negeri misalnya atau buat amal bangun masjid.


Untuk lebih jelasnya aku akan menjabarkannya di bawah ini:


1. Persiapan Tabungan Pernikahan


Persiapan tabungan pernikahan masuk ke dalam kategori persiapan finansial. Banyak yang menganggap persiapan finansial ini tidak perlu disiapkan oleh pihak perempuan. Bahkan aku pernah dikomentari kenapa harus mempersiapkan dana pernikahan kan aku perempuan.


Aku beberapa kali bilang kalau aku memiliki impian pernikahan setara— setara dalam artian aku dan suami memiliki posisi yang sama dalam pernikahan. Jika hanya suami yang kerja, berarti aku harus bertanggung jawab dengan rumah. Jika kami sama-sama kerja, berarti rumah tanggung jawab bareng-bareng.


Aku dan suami juga tetap punya kendali penuh atas diri sendiri dan setiap akan mengambil keputusan yang melibatkan pasangan, harus dengan diskusi. Misalnya adalah membeli mobil dimana akan mempengaruhi keuangan rumah tangga, maka harus ada diskusi. Aku tetap bisa ke tipe dan aku juga akan memberikan waktu ke suamiku untuk me time.


Aku menginginkan pernikahan setara, dimana tidak ada yang mendominasi di dalamnya. Jadi, dari awal pernikahan aku harus siap untuk modal. Bagaimana mau setara jika di awalnya saja cuma pihak suami yang mempersiapkannya? Lagian biasanya biaya yang disiapkan pihak perempuan itu sebagian besar untuk pihak perempuan itu sendiri.


Misalnya untuk membuat undangan pernikahan, membeli kebaya, sampai perlengkapan seserahan, itu pada akhirnya akan balik untuk pihak perempuan. Makanya, untuk persiapan dana pernikahan ini nggak harus banyak. Jika pihak laki-laki biasanya menyiapkan dana pernikahan sekitar 20 juta, pihak perempuan setengahnya saja yakni 10 juta.


Menyiapkan dana pernikahan adalah keputusan terbaik karena lebih baik punya uang daripada enggak. Toh misalnya belum menikah uang itu bisa digunakan untuk hal lain.


2. Persiapan Pengetahuan


Persiapan kedua yang kulakukan adalah persiapan pengetahuan. Sebenarnya ini sudah kulakukan dari jauh-jauh hari. Sejak lulus SMA, aku yang suka baca ini sudah berkali-kali baca buku tentang pernikahan yang isinya tentang hak-kewajiban suami istri, hukum menikah, syarat menikah, sampai tentang hubungan suami-istri dan hamil-melahirkan.


Sejak aku lulus kuliah dan mulai kerja, persiapan pengetahuan yang kulakukan berlanjut mengenai toxic relationship, seperti ciri-ciri hubungan yang toxic dan cara mengatasinya. Aku banyak baca dan nonton tentang manipulatif, pemerkosaan dalam pernikahan, hingga KDRT. Aku merasa kita wajib tahu tentang ini karena kebanyakan perempuan itu bisa terjebak dalam hubungan toxic karena dia emang nggak tahu kalau hubungannya emang toxic.


Banyak yang menganggap KDRT adalah tentang kekerasan fisik, padahal kekerasan psikis juga masuk ke dalam KDRT. Termasuk pemerkosaan dalam rumah tangga, banyak orang yang heran kok bisa ada gitu pemerkosaan dalam rumah tangga, mereka tahunya istri wajib ‘melayani’ suaminya kapanpun suaminya mau.


Padahal dalam melakukan hubungan seksual, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan harus sama-sama siap dan consent dengan apa yang mereka lakukan. Jika salah satu pihak terpaksa melakukannya (apalagi dengan cara manipulasi) itu bisa masuk ke dalam pemerkosaan dalam pernikahan.


Dan, ini tidak hanya terjadi pada pihak perempuan, pihak laki-laki atau suami juga bisa menjadi korban. Ya, aku mempelajari ini dari artikel, buku, dan diskusi baik itu di media sosial atau dengan teman. Aku senang menyimak diskusi-diskusi di Twitter ketika ada berita trending. Selain itu aku juga nonton film yang bisa memberikan pengetahuan dan sudut pandang baru tentang ini.


Tahun ini aku berencana untuk mempelajari tentang pengasuhan anak. Bagaimana mempersiapkan kehamilan, menjalani kehamilan, melahirkan, hingga mengurus bayi-anak dan juga parenting. Aku bahkan mulai mempelajari siklus menstruasi dan mencatatnya lewat aplikasi. Jadi, ketika sudah menikah aku sudah punya pengetahuan ketika ingin menunda punya anak atau program hamil.


3. Persiapan Fisik


Persiapan fisik adalah persiapan yang masih dalam rencana. Sejauh ini rencanaku adalah menurunkan berat badan ke berat badan ideal. Ini sangat susah, sampai aku berencana mengunjungi dokter spesialis diet, wkwk.


Aku juga berencana untuk medial check-up dan mulai memperhatikan kesehatan reproduksi. Aku yang didiagnosis terkena asam urat dan kolesterol, saat ini sedang mencari cara untuk mengatasi dua penyakit itu. Nggak banyak hal yang bisa dijelaskan dari persiapan ini, karena aku memang belum melakukannya.


Bagian ini adalah masih jadi hal yang aku rencanakan dan perjuangkan. Tapi yang pasti aku mau sehat, karena sehat adalah bekal utama untuk menjadi menarik dan cantik. Asyeeekkk!


4. Persiapan Mental


Saat menulis artikel untuk lomba Stockbit (baca di sini), aku membaca survei yang menyatakan persiapan paling penting sebelum menikah bagi perempuan adalah persiapan mental. Tapi di sini aku menempatkannya di paling akhir karena memang ini masih jadi PR banget buatku.


Aku masih merencanakan untuk mengunjungi psikolog untuk mengetahui bagaimana keadaan psikisku dalam menghadapi pernikahan. Sejauh ini aku belum siap menikah karena persiapan mental ini yang belum bisa kupenuhi. Ketika banyak perempuan senang dan excited ketika melihat temannya hamil. Sampai dia pengen menikah dan hamil. Aku justru sebaliknya.


Aku justru saat melihat temanku yang lagi hamil dan punya anak aku semakin yakin aku belum siap untuk menikah. Hamil, melahirkan, dan punya anak bukan sesuatu yang mudah. Apalagi di usiaku ini, aku belum siap untuk hamil dan bertanggung jawab dengan manusia baru yang hadir karena pilihanku.


Ini memang agak gila ketika disandingkan dengan norma umum yang ada, tapi aku nggak mau menjebak manusia baru ketika aku belum siap untuk itu. Memiliki anak adalah pilihanku. Maksudnya dia lahir karena aku melakukan hubungan seksual dengan pasanganku tanpa alat kontrasepsi. Ini adalah pilihanku dengan pasanganku, jadi aku harus bisa memastikan anakku nggak akan hidup menderita sejak dia ada di dalam kandungan.


Memang, aku tidak bisa menjamin dia bahagia selalu tapi setidaknya aku bisa memberikan yang terbaik baik dari segi lahir ataupun batin. Aku nggak mau ada anak lahir dari diriku yang belum siap secara mental. Setidaknya minimal aku harus menemukan pasangan yang bisa mendukungku dalam mengurus anak. Ya, kembali lagi ke sama siapa aku akan menikah.


Aku mau punya pasangan yang bisa diajak diskusi mengenai anak— dia mau menerima keputusanku untuk punya anak atau tidak. Ya, seperti ucapan Hwang Hee-tae dalam Youth of May: punya anak adalah hak perempuan karena dia yang akan hamil dan melahirkan. Mau punya anak atau tidak ya aku nggak mempermasalahkannya. 


Menikah Adalah Pilihan, Jadi Pilihlah yang Terbaik


Aku pernah membaca kalimat seperti ini: anak tidak bisa memilih akan lahir dari orang tua seperti apa, tapi seseorang bisa memilih siapa yang akan jadi ibu/ayah dari anaknya. Ada juga kalimat lainnya, kira-kira seperti ini: mempersiapkan parenting buat anak itu bukan ketika anak itu lahir, tapi sejak memilih pasangan yang akan menjadi ibu/ayah anakmu.


Menikah adalah pilihan. Aku pernah dibilang oleh seorang teman, “kalau sudah jodoh emangnya kamu bisa menolak?” Ini konteksnya dia membahas bagaimana jika aku berjodoh dengan orang yang pernah musuhan denganku dulu. Aku sejak dulu terjebak di sana, aku sampai ketakutan bagaimana jika aku beneran berjodoh sama dia?


Hingga akhirnya aku memahami kalau selagi aku tidak mengiyakan, pernikahan tidak akan terjadi. Bagaimana bisa aku memutuskan menikah dengan orang yang beda visi-misi sama aku? Bagaimana bisa aku mau menikah dengan orang yang berbeda prinsip denganku? Aku punya pilihan buat menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku.


Dari situlah aku menemukan kesimpulan kalau menikah adalah pilihan, termasuk dengan siapa kita akan menikah. Itu juga yang membuat kita harus berjuang untuk mempertahankan pernikahan— jika emang kehendak Tuhan, tinggal pasrah aja kan?


Tapi menikah adalah pilihan dimana kamu harus bisa bertanggung jawab dengan pilihan itu. Karena menikah adalah pilihan, buatlah pilihan terbaik.