Jumat, 12 Januari 2024

Perempuan Expired: Sulitnya Baik-Baik Saja Saat Baik-Baik Saja

perempuan expired

Sekitar dua tahun yang lalu, seorang teman berkata padaku, “Mbak, tadi waktu tarawih aku dibilang udah expired sama tetangga.” Aku syok dan speechless karena jika temanku ini dibilang expired di usianya 3 (tiga) tahun lebih muda dariku, aku apa dong? Saat aku membuat status tentang curhatan temanku ini, temanku lainnya berkomentar, “Kalau dia perempuan expired kita-kita ini apa dong?”


Menjadi perempuan yang belum menikah di usia lebih dari 25 tahun bukanlah hal yang mudah. Aku yang saat baru lulus kuliah berkeinginan menikah di usia lebih dari 30 tahun, di usia akhir 20-an aku menyadari kalau baik-baik saja sebagai single di usia 30 tahun itu sangat sulit. Bahkan ini terjadi saat aku sebenarnya baik-baik saja.


Aku juga mendapatkan curhatan yang sama dari teman-teman seusiaku yang belum menikah, mulai dari ditanya-tanya kapan nikah, diminta keluarga untuk segera menikah, gimana straggle-nya berkenalan dengan orang baru, sampai akhirnya satu per satu mereka menikah. Dari semua yang berbagi cerita ke aku, sumber tidak baik-baik sajanya mereka itu ya faktor eksternal, bukan dari dalam diri mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan mereka sebenarnya baik-baik saja dan alasan kegalauan mereka ya karena pertanyaan dari orang-orang sekitar.


Orang-orang sekitar entah itu tetangga, teman seumuran, hingga keluarga selalu memberikan pertanyaan tentang menikah, mulai dari kapan nikah, mana calonnya, kapan kirim undangan, dan sebagainya. Bahkan semakin bertambahnya usia, pertanyaan ‘kapan nikah’ diganti menjadi pernyataan yang judgemental misalnya kamu belum nikah karena terlalu pemilih, kamu sih nggak buka hati makanya belum nikah-nikah, gimana mau nikah kalau kamu di rumah terus, makanya buka hati biar nikah, dan sejenisnya. Padahal mereka jarang bertemu tapi sudah bisa menghakimi bahwa alasan belum nikah karena nggak mau buka hati atau karena terlalu pemilih.


Banyak yang menganggap bahwa perempuan yang belum menikah di usia lebih dari 25 tahun itu terlambat menikah. Mereka bisanya selalu memberikan alasan perempuan memiliki limit usia menikah, yang dinilai dari faktor reproduksi dimana perempuan memiliki batas kehamilan yang aman hingga usia 40 tahun. Aku pun tidak memungkiri hal tersebut, tapi bukan berarti perempuan harus cepat-cepat menikah dengan alasan ‘punya limit’ ini. Kenyataannya dengan menikah tidak membuat permasalahan hidup selesai. Setelah nikah pun, masih banyak pertanyaan-pertanyaan ‘kapan’ baik itu kapan hamil, kapan punya rumah sendiri, kapan beli mobil, kapan nambah anak, dan lainnya.


Jika kita saja tidak kuat menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah’ ini dan memutuskan menikah karena tidak tahan dengan tekanan dari orang-orang sekitar, bagaimana kelak akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan kapan lainnya. Apalagi tentang pertanyaan ‘kapan hamil’ yang menurut temanku levelnya ada di atas pertanyaan ‘kapan nikah’.


Kata temanku tersebut, seseorang bisa lebih santai menghadapi pertanyaan kapan nikah karena memang belum bertemu dengan orang yang tepat atau karena memilih untuk menikmati masa sendiri, ini beda dengan pertanyaan ‘kapan hamil’ yang kebanyakan memang ada di luar kendali. Jika pertanyaan ‘kapan nikah’ bisa mengarah ke judge bahwa seseorang dianggap terlalu pemilih atau tidak mau buka hati, pertanyaan ‘kapan hamil’ lebih kejam karena bisa mengarah ke kesehatan reproduksi. Perempuan akan dianggap memiliki kekurangan ketika ia tidak bisa hamil.


Jadi, bagaimana menghadapi pertanyaan ‘kapan hamil’ jika menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah’ saja nggak kuat? Dan, pertanyaan kapan hamil tidak akan diberikan sebelum seseorang menikah. Alasan inilah yang membuat aku memutuskan untuk menulis buku ini. Bukan hanya untuk orang yang membaca buku ini, tetapi juga untuk diriku sendiri yang kadang merasa muak dan nggak kuat menghadapi pertanyaan kapan nikah.


Sama seperti teman-teman yang curhat ke aku, aku kadang juga merasa ingin menikah agar tidak lagi ditanya-tanya tentang menikah dan menghadapi pernyataan  judgemental karena aku belum menikah.


Ada saat-saat dimana aku merasa kurang sebagai seorang perempuan dan seorang manusia karena belum menikah. Dimana aku berpikir apakah aku belum menikah karena aku kurang cantik atau kurang baik. Termasuk pertanyaan apakah aku bisa menikah di masa depan dan jika tidak menikah apakah aku akan baik-baik saja.


Maybe aku bisa menghadapi kesendirian dan rasa kesepian karena tidak menikah, tapi apakah aku bisa menghadapi pandangan orang-orang di sekitarku karena aku belum menikah? Satu-satunya kekhawatiranku tentang tidak menikah bukanlah aku akan hidup sendiri, tetapi aku takut menghadapi orang-orang di sekitarku dengan statusku yang tidak menikah.


Orang-orang banyak yang menganggap tidak menikah adalah keadaan yang patut dikasihani. Mau orang yang tidak menikah tersebut menunjukan bahwa ia bahagia hidup sendirian, orang-orang tetap mengatakan bahwa tidak menikah itu menyedihkan.


Ini aku temukan di kolom-kolom komentar di Instagram traveler yang happy menjadi hidup sebagai single. Ketika traveler tersebut membagikan cerita tentang hidupnya yang happy meski belum menikah, orang-orang memberikan komentar bahwa aslinya hidup Mbak-Mbak Traveler ini menyedihkan. Kurang lebih kayak gini:


“Itu mah aslinya menderita karena belum menikah.”


“Aku justru kasihan sama Mbaknya karena belum menikah. Nanti ketika udah tua siapa coba yang akan ngurusin.”


“Bulsyittt, itu mah aslinya nyesel karena belum menikah.”


“Perawan tua.”


Ketika membaca komentar-komentar ini, aku langsung berpikir bahwa perempuan yang belum menikah di usia matang benar-benar dianggap aib oleh masyarakat. Bahkan aku sudah beberapa kali tetangga yang menyebarkan nomorku tanpa izin dengan alasan agar aku cepat menikah. Mereka menganggap bahwa mengenalkan dua orang asing (tanpa melihat keduanya cocok atau tidak) adalah sebuah niat baik, siapa tahu jodoh. Padahal mengenalkan dua orang asing bisa jadi hanya membuat salah satu pihak kesal karena nggak nyambung dan hanya buang-buang waktu.


Karena alasan-alasan inilah aku memutuskan untuk menulis buku ini. Aku menulis buku ini bukan agar orang-orang yang membacanya jadi enggan menikah atau menjadi pendukung gerakan perempuan jomblo, tapi agar menjadi penguat perempuan-perempuan yang belum menikah di luar sana. Di tengah tekanan-tekanan cepat nikah yang begitu besar di luar sana, aku berharap perempuan tetap kuat dan tidak memutuskan menikah secara asal: termasuk asal memilih suami.


Ada banyak perempuan-perempuan yang harus mengalami kegagalan rumah tangga karena salah pilih suami dan alasan salah pilih suami banyak yang dikarenakan tekanan cepat menikah ini. Aku tidak mau ini kembali dialami oleh perempuan-perempuan di luar sana, termasuk kepada diirku sendiri. Aku berharap perempuan-perempuan berusia lebih dari 25 tahun bisa tetap bahagia meski belum menikah hingga mereka menemukan pasangan yang tepat dan bisa membangun keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.

Perempuan Expired: Sulitnya Baik-Baik Saja Saat Baik-Baik Saja
4/ 5
By
Comments


EmoticonEmoticon