Minggu, 11 Juni 2023

Perempuan dalam Perspektif Sinematik Korea, Jepang, dan Indonesia

perempuan


Beberapa bulan yang lalu saya baru saja selesai nonton drama Jepang dan saya bergumam, “kok gini banget ya penggambaran perempuan di drama Jepang?” Sebagai penggila drama Korea yang telah menonton lebih dari 200 judul drama Korea, saya banyak mengamati bagaimana perkembangan drama Korea dari tahun ke tahun.


Tidak hanya drama Korea, ada kalanya saya menonton karya sinematik dari berbagai negara dan setelah menonton beberapa judul, saya menemukan satu formula yang menjadi sudut pandang terhadap sesuatu, kali ini saya mengamatinya dari bagaimana mereka memandang perempuan.


Dalam drama Korea, misalnya, setiap tahunnya drama Korea memiliki kesamaan untuk setiap periodenya. Jadi, jika ada yang bilang drama Korea itu selalu memiliki cerita yang unik, saya kira nggak semuanya. Jika kita benar-benar mengamatinya, drama Korea juga mengikuti apa yang sedang trend atau hype.


Saya ingat banget di tahun 2012 drama Korea banyak diisi oleh cerita-cerita time travel, sebut saja drama Rooftop Prince, Faith, dan Queen In Hyun Man. Di tahun 2015, ada drama Kill Me Heal Me yang mengangkat cerita tentang kepribadian ganda, dan di tahun yang sama juga ada drama dengan tema serupa berjudl Hyde Jekyll, Me.


Jika kamu menonton drama The World of The Married, setelah drama ini melejit ada banyak judul drama Korea yang mengangkat tema perselingkuhan atau makjang. Tidak hanya dalam hal tema yang memiliki formula yang mirip-mirip setiap tahunnya, jika kamu memperhatikan, drama Korea juga telah mengalami pergeseran dalam hal karakter tokoh utama, khususnya tokoh utama perempuan.


Sekitar tahun 2010-an, drama Korea banyak diisi oleh karkater-karakter candy girl yang kehidupannya bak Cinderella. Sebut saja drama Boy Over Flower, Secret Garden, The Heirs, You are Beautifull, City Hunter, Rooftop Prince, Princess Hours, Coffee Prince, hampir semuanya karakter utama perempuan di drama itu adalah gadis miskin yang bertemu dengan pangeran (pewaris atau chabol, biasanya) kaya raya. Bahkan kekayaannya nggak tanggung-tanggung, minimal punya mall terbesar di Korea Selatan.


Ini tentunya berbeda dengan karakter utama perempuan di drama Korea yang tayang 2018 hingga sekarang. Sebut saja drama The World of The Married, tokoh utamanya yakni Ji Sun-woo adalah seorang dokter sukses yang memiliki karakter kuat dan tidak diam saja ketika dikhianati oleh suaminya. Kemudian ada Hotel del Luna dengan karkater Jang Man-wol yang hingga kini masih melekat di benak saya sebagai perempuan kuat dan (lumayan) bringas.

Di tahun 2023 ini, ada drama The Glory yang menurut saya adalah sebuah drama sempurna tentang perempuan. Moon Dong-eun diceritakan sebagai korban bully saat SMA dan ia berjuang sangat keras untuk membalaskan dendam di masa depan. Dia membangun karir hingga ada di posisi yang sama dengan para pelaku bullying tersebut. Ia menjadi seorang guru dan memiliki banyak uang.


Saya menyebut The Glory sebagai drama pembalasan dendam tanpa menjadi jalang. Moon Dong-eun tidak pernah memberikan tubuhnya, bahkan ketika ia bersama dengan Joo Yeo-jeong, ia memikat laki-laki itu dengan tekad kuatnya, bukan dengan tubuhnya.


Pergeseran karakter perempuan dalam drama Korea pastinya sangat dipengaruhi oleh gerakan feminisme di Negeri Gingseng tersebut. Seperti yang diketahui, Korea Selatan adalah negara anti-feminisme. Kaum laki-laki di Korea Selatan merasa didiskriminasi karena hanya kaum laki-laki yang melakukan wajib militer. (sumber: Young, Angry, Misogynistic, and Male: Inside South Korea’s Incel Election (vice.com))


Wajib militer membuat kaum laki-laki kehilangan waktu-waktu produktifnya yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun karir. Di sisi lain, perempuan yang tidak mengikuti wajib militer bisa terus mengejar karir hingga melampaui laki-laki. Karena alasan inilah muncul gerakan anti-feminisme di Korea Selatan.


Perjuangan feminis di Korea Selatan sangatlah sulit. Jika kamu tahu novel Kim Ji-young: Born 1982 yang versi filmnya dibintangi oleh Gong Yoo, novel ini sempat menjadi kontroversi karena tema feminisme yang diangkat. (Sumber: Kontroversi Kim Ji-young, Born 1982 & Kisah yang Harus Diceritakan (tirto.id)). Lewat drama-drama inilah, sineas Korea Selatan mengkampanyekan kesetaraan di Korea Selatan dan seluruh dunia.


Terlebih dalam industri drama Korea banyak diisi oleh penulis-penulis perempuan. Kim Eun-sook yang menulis drama The Glory, Hong Sister yang menulis Hotel del Luna, hingga Kim Sun-ok yang menulis drama Penthouse.


Lalu bagaimana dengan negara lain, Jepang misalnya sebagai tetangga dari Korea Selatan? Dibandingkan menemukan hal menyenangkan atau sesuatu yang good untuk ditonton, saya justru menemukan formula yang kurang menyenangkan dari karya sinematik di negara ini. Jelas ini tidak berlaku untuk semua drama atau film, tapi dari beberapa yang judul yang sudah saya tonton, saya sampai bergumam, “kok gini ya.”


Ada empat judul yang saya tonton dan semuanya saya tonton di Netflix. Judul-judul dorama dan film itu antara lain My Husband Won’t Fit, Love & Fortune, Call Me Chiharo, dan Fishbowl Wives. Ada dua judul yang saya tonton hingga selesai yaitu My Husband Won’t Fit dan Love & Fortune, sedangkan judul-judul lainnya saya nggak sanggup menyelesaikannya, wkwk.


Dari kedua dorama ini (juga dua judul lainnya), saya menemukan kesamaan karakter perempuannya yaitu seorang perempuan manis, imut, dan bermuka kalem tapi jalang. Dalam My Husband Won’t Fit, misalnya, tokoh utama perempuannya adalah seorang mahasiswa kalem yang nggak begitu cantik (menurut saya) tapi semudah itu melakukan have sex. Bahkan setelah menikah pun, dia akhirnya selingkuh dengan laki-laki lain karena nggak bisa match dengan suaminya.


Love & Fortune apalagi, saat pertama kali nonton saya mengira perempuan ini sangat kalem, tapi akhirnya selingkuh dengan laki-laki yang usianya jauh di bawah dia. Bahkan bisa dibilang anak di bawah umur. Dua drama lainnya yang tidak berhasil saya selesaikan juga memiliki tokoh utama perempuan yang serupa: imut, kalem, baik hati, tapi ya begitu.


Jujur, saya sampai putus asa mau nonton dorama lagi. Sepertinya mending nonton anime.


Sebagai orang yang nggak terlalu mengikuti drama China dan drama Thailand, saya tidak bisa banyak berkomentar. Tapi saat sedang diskusi dengan teman, dia juga mengatakan hal yang sama: drama China dan Thailand memiliki formula yang sama. Drama China hingga saat ini banyak diisi oleh cerita-cerita Cinderella dimana tokoh utama perempuan adalah sosok lemah yang bertemu dengan pangeran kaya raya.


Teman lainnya yang kuajak diskusi mengatakan, tema seperti itu sesuai untuk negara komunis seperti China. Untuk bisa tayang saja butuh proses panjang dan banyak drama yang akhirnya gagal tayang.


Untuk drama Thailand, teman saya menjelaskan drama Thailand banyak yang meromantisasi kekerasan seksual. Jadi, banyak tokoh perempuan dalam drama Thailand yang diperkosa dan akhirnya jatuh cinta dengan orang yang memperkosanya. Saya sempat menonton drama Thailand untuk kebutuhan artikel ini tapi belum menemukan seperti yang disebutkan teman saya tersebut, jadi untuk ini saya tidak bisa banyak menjelaskannya.


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tidak dipungkiri bahwa saat ini Indonesia telah berkembang dalam hal karya sinematik, terlebih sejak adanya platform streaming. Kita bisa menemukan drama dan film berkualitas di platform-platform tersebut. Salah satu series yang cukup menyita perhatian saya adalah Katarsis yang dibintangi oleh Pevita Pearce. Meski saya baru menonton dua episode series ini tetapi saya bisa melihat karakter Tara bukan perempuan biasa.


Meski telah banyak perkembangan, namun hingga kini saya belum menemukan film atau series yang membuat saya menjatuhkan hati seperti saya jatuh hati pada drama The Glory dan Love to Hate You. Memang ada beberapa judul film yang mengangkat isu kesehatan mental, kekerasan seksual, dan isu perempuan lainnya tapi karakternya belum bisa melekat di benak saya.


Apalagi jika melihat sinetron dan FTV di Indonesia, rasanya kayak putus asa. Jangankan mengakat isu kesetaraan gender dengan karakter yang kuat, bisa nemu cerita yang logis aja udah syukur. Terakhir, saya menemukan cerita FTV Indosiar yang super nyeleneh: bisnis semangka goreng. Sinetron juga masih diisi dengan karakter perempuan lemah lembut, agamis, dan pasrah.


Begitu juga dengan film, di balik karya sinematik Indonesia yang katanya sudah berkembang, masih ada film yang meromantisasi pernikahan di bawah umur hingga pemaksaan pernikahan. Jadi, kalau ada yang nanya kenapa kami (atau saya) lebih memilih nonton drama Korea dibandingkan sinetron Indonesia, alasannya sangat jelas: males misuh-misuh.


Perempuan dalam Perspektif Sinematik Korea, Jepang, dan Indonesia
4/ 5
By
Comments


EmoticonEmoticon