Sabtu, 28 Januari 2023

Apakah Kita Semua Harus Menikah?

Menikah


Di usia yang telah menginjak usia 28 tahun, datang ke pernikahan teman adalah sesuatu yang telah kulakukan berkali-kali. Bahkan bisa dibilang sebagian besar teman-teman seumuranku telah menikah. Aku yang tinggal di desa sebentar lagi akan menjadi satu-satunya gadis dengan umur lebih dari 27 tahun yang belum menikah.


Apakah aku risau? Kalau aku bilang enggak, jelas itu bohong. Aku risau bukan karena aku ingin menikah, justru aku risau karena aku belum siap menikah. Mungkin ini terdengar aneh dan tidak lazim, tapi aku belum rela memberikan hidupku kepada seseorang— karena memang saat ini aku belum menemukan seseorang yang bisa membuatku rela memberikan hidupku, ya.


Di umur segini, aku berkali-kali bertanya ke diri sendiri, apakah manusia memang harus menikah? Bagaimana jika aku tidak bisa menikah, apakah aku akan menjadi manusia aneh? Tapi jika dibandingkan harus menikah secara asal dengan seseorang yang tidak aku yakin bisa memberikan hidupku, aku lebih baik menunda pernikahan.


Alasan Aku Belum Siap Menikah


Alasan utama aku belum siap menikah adalah aku belum menemukan seseorang yang membuatku bisa memberikan hidupku padanya. Ketika aku ditanya kapan nikah sama orang lain, aku selalu bertanya balik ke mereka, “apa coba hal yang paling dibutuhkan buat nikah?” Dan kebanyakan mereka menjawab duit yang langsung aku timpal dengan: no, bukan duit. Tapi pasangannya.


Mau sesiap apapun aku buat menikah dan udah punya duit sebanyak apapun, kalau aku belum menemukan calon atau pasangannya ya mau nikah sama siapa, kan? Perjuangan buat bisa nikah itu nggak sama kayak perjuangan buat bisa lulus. Saat kamu berjuang buat bisa lulus kuliah (wisuda), ketika kamu berhasil lulus ya kamu tinggal melanjutkan ke kehidupan kamu selanjutnya, dengan kerja misalnya.


Beda ketika menikah. Ketika kamu berhasil menikah, tidak ada jaminan hidupmu akan happy ever after kayak dalam film dongeng. Pernikahan adalah sesuatu yang melibatkan dua manusia yang berbeda, dua keluarga yang berbeda, bahkan dua kebudayaan yang bisa jadi berbeda. Dengan siapa kamu memutuskan menikah akan memengaruhi kehidupanmu selanjutnya— apakah akan menjadi lebih bahagia atau sebaliknya yaitu lebih menderita.


Jadi, jika ditanya alasan utama aku belum menikah adalah aku belum menemukan seseorang yang bisa membuatku percaya kalau aku bisa berbagi kehidupan dengannya. Sejauh ini aku belum tahu seperti apa seseorang yang benar-benar aku butuhkan itu— maybe aku akan mulai memikirkannya dan mulai serius mendoakannya,


Alasan-alasan lainnya misalnya belum siap secara mental, kurasa ketika telah bertemu dengan orang yang aku YES dengannya, dia akan membuatku siap. You know-lah, saat telah menemukan the one secara otomatis kita akan siap. Kecuali emang bagi mereka yang belum selesai sama diri sendiri.


Apakah Aku Sudah Selesai dengan Diri Sendiri?


Aku selalu bilang ke orang yang mengobrol denganku, “pastikan sebelum menikah kamu harus sudah selesai dengan diri sendiri.” Masih banyak yang belum mengerti definisi selesai sama diri sendiri, tapi buatku selesai sama diri sendiri adalah ketika kita berhasil berdamai dengan diri sendiri.


Misalnya, di masa lalu kamu merasa sangat insecure dengan berat badan. Nah, saat ini kamu sudah bisa berdamai dengan masalah berat badan ini— baik karena kamu sudah bisa menurunkan berat badan atau telah menerima keadaan badanmu dengan tetap terus berusaha. Selain contoh itu, selesai dengan diri sendiri juga bisa dari segi karier. Misalnya adalah kamu punya impian ingin menjadi penulis dan di masa sekarang kamu sudah menjadi penulis atau menerima dirimu baik yang sudah jadi penulis atau belum jadi penulis.


Kuakui, saat ini aku sudah ada di posisi ini: aku sudah selesai sama diri sendiri. Aku tahu jika menganggap selesai dengan diri sendiri adalah ada di semua bagian, aku nggak akan bisa selesai sama diri sendiri. Misalnya, aku saat ini belum punya tabungan 50 juta. Jika takaran selesai sama diri sendiri adalah nominal tabungan ya jelas aku belum selesai.


Tapi standar selesai sama diri sendiriku bukan itu, tapi bagaimana saat ini aku bisa menerima diri sendiri dan aku sudah ada di tahap itu. Aku merasa puas dan bangga sama diri sendiri. Ya, meski ada saat-saat dimana aku merasa rapuh dan ingin mati saja, tapi itu adalah perasaan wajar. Tergantung bagaimana aku menyikapi perasaan itu.


Jadi, ketika ada yang nanya apakah aku sudah selesai dengan diri sendiri, aku selalu jawab sudah. Ini beneran ada yang nanya dan aku memang merasa sudah selesai sama diri sendiri. Tapi mengapa aku belum memutuskan menikah? Ya, kembali lagi aku belum menemukan seseorang yang kupercaya dan membuatku oke YES.


Daripada aku galau dan risau memikirkan itu— termasuk bagaimana nanti aku akan ketemu pasanganku, lebih baik aku menggunakan energi untuk upgrade diri dengan cara mengembangkan keterampilan dan juga melakukan hal-hal yang bisa mendukung masa depanku.


Apakah Kita Semua Harus Menikah?


Aku beberapa kali mendapatkan nasihat, “kamu harus menikah, Des! Nikah itu wajib,” bahkan ada yang dengan terang-terangan khawatir aku tidak mau menikah. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang peduli denganku tapi ya anggapan mereka jelas salah. Meski aku sering bilang hukum nikah itu mubah dan bisa berganti tergantung keadaan, tapi aku mau menikah.


Semua manusia normal pasti mau menikah— jika sampai dia memutuskan untuk tidak menikah, tapi ada alasan kuat yang mendasarinya. Saat kamu bertemu dengan seseorang yang bisa mencintaimu dengan baik dan kamu juga cinta sama dia, pasti kamu ingin menikah dengannya. Pernikahan adalah ikatan yang bisa melindungi dua manusia dan kalau kata guru agamaku di SMA, pernikahan adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan dengan hewan.


Tapi apakah kita semua harus menikah? Kurasa jika ditanya seperti ini, aku akan menjawab tidak. Kita semua tidak harus menikah hanya karena orang-orang di sekitar kita menikah. Seperti yang aku bilang sebelumnya, menikah adalah hubungan yang melibatkan dua manusia dengan dua pikiran berbeda, dua misi berbeda, dari dua keluarga berbeda, dan bahkan ada yang dari budaya yang berbeda.


Dasar ketika kamu memutuskan untuk menikah bukan karena semua orang sudah menikah, tapi karena kamu sudah menemukan someone yang membuatmu yakin kamu bisa berbagi hidup sama dia. Jika belum, jangan paksakan untuk menikah. Lalu bagaimana kita tahu dia seseorang yang tepat atau nggak? 


Ya, aku juga nggak tahu karena aku belum ada di fase ini. Tapi menurut hasil sharing dengan teman-teman, ketika menemukan someone ini segalanya akan dipermudah dan entah dari mana datangnya, kamu yakin dia adalah orang yang tepat.


Persiapanku Sebelum Menikah


Menikah

Dibandingkan harus menggalau karena belum menemukan jodoh, sampai bilang: ya ampun jodohku kesasar ke mana sih, ini loh aku nunggu dari lama, atau narasi-narasi jomlo ngenes, lebih baik aku fokus mempersiapkan diri sebelum menikah.


Tahun lalu, aku bilang ke diri sendiri, kira-kira seperti ini, “aku nggak tahu di masa depan akan menikah atau enggak, tapi aku nggak mau aku nggak menikah karena aku yang nggak ada persiapan. Aku nggak mau menyesal di masa depan karena tidak mempersiapkan bekal menikah. Aku mau mempersiapkan pelan-pelan, jadi ketika bertemu someone itu, aku sudah siap. Jika nggak bertemu aku nggak akan menyalahkan diri sendiri karena aku udah usaha.”


Dari sinilah akhirnya aku memutuskan untuk mulai mempersiapkan dana pernikahan. Nikah atau belum menikah, memiliki dana pernikahan itu jauh lebih baik daripada nggak punya. Jika memang belum rezeki buat menikah, aku bisa menggunakannya buat hal lain, jalan-jalan ke luar negeri misalnya atau buat amal bangun masjid.


Untuk lebih jelasnya aku akan menjabarkannya di bawah ini:


1. Persiapan Tabungan Pernikahan


Persiapan tabungan pernikahan masuk ke dalam kategori persiapan finansial. Banyak yang menganggap persiapan finansial ini tidak perlu disiapkan oleh pihak perempuan. Bahkan aku pernah dikomentari kenapa harus mempersiapkan dana pernikahan kan aku perempuan.


Aku beberapa kali bilang kalau aku memiliki impian pernikahan setara— setara dalam artian aku dan suami memiliki posisi yang sama dalam pernikahan. Jika hanya suami yang kerja, berarti aku harus bertanggung jawab dengan rumah. Jika kami sama-sama kerja, berarti rumah tanggung jawab bareng-bareng.


Aku dan suami juga tetap punya kendali penuh atas diri sendiri dan setiap akan mengambil keputusan yang melibatkan pasangan, harus dengan diskusi. Misalnya adalah membeli mobil dimana akan mempengaruhi keuangan rumah tangga, maka harus ada diskusi. Aku tetap bisa ke tipe dan aku juga akan memberikan waktu ke suamiku untuk me time.


Aku menginginkan pernikahan setara, dimana tidak ada yang mendominasi di dalamnya. Jadi, dari awal pernikahan aku harus siap untuk modal. Bagaimana mau setara jika di awalnya saja cuma pihak suami yang mempersiapkannya? Lagian biasanya biaya yang disiapkan pihak perempuan itu sebagian besar untuk pihak perempuan itu sendiri.


Misalnya untuk membuat undangan pernikahan, membeli kebaya, sampai perlengkapan seserahan, itu pada akhirnya akan balik untuk pihak perempuan. Makanya, untuk persiapan dana pernikahan ini nggak harus banyak. Jika pihak laki-laki biasanya menyiapkan dana pernikahan sekitar 20 juta, pihak perempuan setengahnya saja yakni 10 juta.


Menyiapkan dana pernikahan adalah keputusan terbaik karena lebih baik punya uang daripada enggak. Toh misalnya belum menikah uang itu bisa digunakan untuk hal lain.


2. Persiapan Pengetahuan


Persiapan kedua yang kulakukan adalah persiapan pengetahuan. Sebenarnya ini sudah kulakukan dari jauh-jauh hari. Sejak lulus SMA, aku yang suka baca ini sudah berkali-kali baca buku tentang pernikahan yang isinya tentang hak-kewajiban suami istri, hukum menikah, syarat menikah, sampai tentang hubungan suami-istri dan hamil-melahirkan.


Sejak aku lulus kuliah dan mulai kerja, persiapan pengetahuan yang kulakukan berlanjut mengenai toxic relationship, seperti ciri-ciri hubungan yang toxic dan cara mengatasinya. Aku banyak baca dan nonton tentang manipulatif, pemerkosaan dalam pernikahan, hingga KDRT. Aku merasa kita wajib tahu tentang ini karena kebanyakan perempuan itu bisa terjebak dalam hubungan toxic karena dia emang nggak tahu kalau hubungannya emang toxic.


Banyak yang menganggap KDRT adalah tentang kekerasan fisik, padahal kekerasan psikis juga masuk ke dalam KDRT. Termasuk pemerkosaan dalam rumah tangga, banyak orang yang heran kok bisa ada gitu pemerkosaan dalam rumah tangga, mereka tahunya istri wajib ‘melayani’ suaminya kapanpun suaminya mau.


Padahal dalam melakukan hubungan seksual, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan harus sama-sama siap dan consent dengan apa yang mereka lakukan. Jika salah satu pihak terpaksa melakukannya (apalagi dengan cara manipulasi) itu bisa masuk ke dalam pemerkosaan dalam pernikahan.


Dan, ini tidak hanya terjadi pada pihak perempuan, pihak laki-laki atau suami juga bisa menjadi korban. Ya, aku mempelajari ini dari artikel, buku, dan diskusi baik itu di media sosial atau dengan teman. Aku senang menyimak diskusi-diskusi di Twitter ketika ada berita trending. Selain itu aku juga nonton film yang bisa memberikan pengetahuan dan sudut pandang baru tentang ini.


Tahun ini aku berencana untuk mempelajari tentang pengasuhan anak. Bagaimana mempersiapkan kehamilan, menjalani kehamilan, melahirkan, hingga mengurus bayi-anak dan juga parenting. Aku bahkan mulai mempelajari siklus menstruasi dan mencatatnya lewat aplikasi. Jadi, ketika sudah menikah aku sudah punya pengetahuan ketika ingin menunda punya anak atau program hamil.


3. Persiapan Fisik


Persiapan fisik adalah persiapan yang masih dalam rencana. Sejauh ini rencanaku adalah menurunkan berat badan ke berat badan ideal. Ini sangat susah, sampai aku berencana mengunjungi dokter spesialis diet, wkwk.


Aku juga berencana untuk medial check-up dan mulai memperhatikan kesehatan reproduksi. Aku yang didiagnosis terkena asam urat dan kolesterol, saat ini sedang mencari cara untuk mengatasi dua penyakit itu. Nggak banyak hal yang bisa dijelaskan dari persiapan ini, karena aku memang belum melakukannya.


Bagian ini adalah masih jadi hal yang aku rencanakan dan perjuangkan. Tapi yang pasti aku mau sehat, karena sehat adalah bekal utama untuk menjadi menarik dan cantik. Asyeeekkk!


4. Persiapan Mental


Saat menulis artikel untuk lomba Stockbit (baca di sini), aku membaca survei yang menyatakan persiapan paling penting sebelum menikah bagi perempuan adalah persiapan mental. Tapi di sini aku menempatkannya di paling akhir karena memang ini masih jadi PR banget buatku.


Aku masih merencanakan untuk mengunjungi psikolog untuk mengetahui bagaimana keadaan psikisku dalam menghadapi pernikahan. Sejauh ini aku belum siap menikah karena persiapan mental ini yang belum bisa kupenuhi. Ketika banyak perempuan senang dan excited ketika melihat temannya hamil. Sampai dia pengen menikah dan hamil. Aku justru sebaliknya.


Aku justru saat melihat temanku yang lagi hamil dan punya anak aku semakin yakin aku belum siap untuk menikah. Hamil, melahirkan, dan punya anak bukan sesuatu yang mudah. Apalagi di usiaku ini, aku belum siap untuk hamil dan bertanggung jawab dengan manusia baru yang hadir karena pilihanku.


Ini memang agak gila ketika disandingkan dengan norma umum yang ada, tapi aku nggak mau menjebak manusia baru ketika aku belum siap untuk itu. Memiliki anak adalah pilihanku. Maksudnya dia lahir karena aku melakukan hubungan seksual dengan pasanganku tanpa alat kontrasepsi. Ini adalah pilihanku dengan pasanganku, jadi aku harus bisa memastikan anakku nggak akan hidup menderita sejak dia ada di dalam kandungan.


Memang, aku tidak bisa menjamin dia bahagia selalu tapi setidaknya aku bisa memberikan yang terbaik baik dari segi lahir ataupun batin. Aku nggak mau ada anak lahir dari diriku yang belum siap secara mental. Setidaknya minimal aku harus menemukan pasangan yang bisa mendukungku dalam mengurus anak. Ya, kembali lagi ke sama siapa aku akan menikah.


Aku mau punya pasangan yang bisa diajak diskusi mengenai anak— dia mau menerima keputusanku untuk punya anak atau tidak. Ya, seperti ucapan Hwang Hee-tae dalam Youth of May: punya anak adalah hak perempuan karena dia yang akan hamil dan melahirkan. Mau punya anak atau tidak ya aku nggak mempermasalahkannya. 


Menikah Adalah Pilihan, Jadi Pilihlah yang Terbaik


Aku pernah membaca kalimat seperti ini: anak tidak bisa memilih akan lahir dari orang tua seperti apa, tapi seseorang bisa memilih siapa yang akan jadi ibu/ayah dari anaknya. Ada juga kalimat lainnya, kira-kira seperti ini: mempersiapkan parenting buat anak itu bukan ketika anak itu lahir, tapi sejak memilih pasangan yang akan menjadi ibu/ayah anakmu.


Menikah adalah pilihan. Aku pernah dibilang oleh seorang teman, “kalau sudah jodoh emangnya kamu bisa menolak?” Ini konteksnya dia membahas bagaimana jika aku berjodoh dengan orang yang pernah musuhan denganku dulu. Aku sejak dulu terjebak di sana, aku sampai ketakutan bagaimana jika aku beneran berjodoh sama dia?


Hingga akhirnya aku memahami kalau selagi aku tidak mengiyakan, pernikahan tidak akan terjadi. Bagaimana bisa aku memutuskan menikah dengan orang yang beda visi-misi sama aku? Bagaimana bisa aku mau menikah dengan orang yang berbeda prinsip denganku? Aku punya pilihan buat menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku.


Dari situlah aku menemukan kesimpulan kalau menikah adalah pilihan, termasuk dengan siapa kita akan menikah. Itu juga yang membuat kita harus berjuang untuk mempertahankan pernikahan— jika emang kehendak Tuhan, tinggal pasrah aja kan?


Tapi menikah adalah pilihan dimana kamu harus bisa bertanggung jawab dengan pilihan itu. Karena menikah adalah pilihan, buatlah pilihan terbaik.




Apakah Kita Semua Harus Menikah?
4/ 5
By
Comments


EmoticonEmoticon